PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Abstrak
Hukum syara’ adalah hukum
yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa)
dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat
bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang
muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara’ ini mengikat aktivitas
kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang
jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. Semua ini
disebut dengan ahkmul khamsah. Kenapa harus terikat? keterikatan kita kepada
hukum syara’ lah yang menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati,
muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam
kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah
mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan
hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi
dan hukum wadh’i.
A.
Pengertian Hukum Syara’
Syara’ atau syariat
merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah swt yang diturunkan kepada
nabi Muhammad sebagai rasulnya yang wajib diikuti oleh setiap orang islam
berdasarkan keyakinan yang berisikan ahlak baik dalam hubungannya dengan Allah
maupun manusia atau lingkungannya.
Hukum syara’ menurut
istilah para ahli ushul fiqh adalah :khithab syar’i yang bersangkutan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
ketetapan. Misalnya dalam firman Allah swt
dalam surat al-Baqarah ayat 229, artinya :
“ jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hokum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya “
Hukum syara’ juga dapat
diartikan seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.
B.
Pembagian Hukum Syara’
Pada umumnya ulama ushul
Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i.
1.
Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan
hukum taklifi ialah syara’ yang mengandung tuntunan (untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang
dikerjakan dan ditinggalkan.
Hukum taklifi ini terbagi
kepada lima bagian, yaitu : Ijab, Nadb, Tahrim, Karahah, dan Ibahah.
a. Ijab
(mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan
untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk
melakukan sholat. Yang terdapat pada QS Al-Baqarah (2):43
b. Nadb (anjuran
untuk melakukan), yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk melakukan
suatu perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat.
Yang terdapat pada QS Al-Baqarah (2):282
c. Tahrim
(melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk melakukan
suatu perbuatan dengan tuntunan yang pasti. Misalnya, diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah dan daging babi. Yang terdapat pada QS Al Maidah ayat
3
d. Karahah yaitu,
ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan
tuntunan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101.
e. Ibahah yaitu,
yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya, Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235.
Ulama’ Hanafiyah membagi
hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi firman yang menuntut
suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan
pasti kepada dua bagian : tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila
suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i seperti dalil Al-Qur’an dan Hadits
Mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan
dalil yang zhanny ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan
berdasarkan zhanny, ia disebut karahah tanzih.
Dengan pembagian seperti
diatas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim,
karahah tanzih, nadb dan ibadah.
Walaupun golongan yang
disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada
umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah
disebut diatas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan
mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh Ahli Fiqih,
yaitu wajib, haram, madhub, makruh dan mubah.[1]
Masing-masing dari beberapa istilah hukum diatas akan dijelaskan secara ringkas
dibawah ini :
a.
Wajib
Pada
pokoknya yang disebut dengan wajib adalah sesuatu yang diperintahkan
(diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf,
dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila
tidak dilaksanakan atau meninggalkannya akan diancam dengan dosa atau diberi
siksa (‘iqab).
Misalnya, mengerjakan
beberapa rukun Islam yang lima.
Dilihat dari beberapa
segi, wajib terbagi empat:
1. Dilihat dari segi tertentu atau tidak tentunya perbuatan yang dituntut, wajib
dibagi menjadi dua:
a. Wajib mu’ayyan
(ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya. Misalnya membaca
fatihah atau tahiyyat dalam sholat.
b. Wajib mukhayyar
(dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang
telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga
alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh
orang miskin atau memerdekakan budak.
2. Dilihat dari segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib terbagi
kepada dua bagian:
(a.) Wajib ‘aini
yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya mengerjakan
sholat lima waktu, puasa Ramadhan. Wajib ini disebut juga dengan fardhu ‘ain.
(b.) Wajib kifayah,
yaitu kewajiban yang diharuskan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa
melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah
seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila
tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat
tersebut. Misalnya, mendirikan tembat peribadatan, mendirikan rumah sakit,
sekolah, menyelenggarakan sholat jenazah, dan lain sebagainya.
3. Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya. Hukum wajib terbagi kepada dua macam :
(a.) Wajib
mutlaq, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu
tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar puasa Ramadhan yang tertinggal,
kewajiban membayar kaffarat sumpah,
boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan wktu tertentu.
(b.) Wajib Muaqqad, yaitu kewajiban yang
pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini, seperti
dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (Lapang waktunya) dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya).
-
Wajib
muwassa’ adalah kewajiban dimana
waktu yang tersedia lebih lapang daripada waku pelaksanaan kewajiban itu
sendiri sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada
waktu itu, sepertisholat lima waktu.
-
Wajib
mudhayyaq adalah kewajiban dimana
waktu yang tersedia hanya (mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu).
Misalnya puasa di bulan Ramadhan.[2]
4. Dilihat dari segi kadar
(kualitas)nya, wajib terbagi kepada dua :
(a.) Wajib muhaddad,
yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya jumlah zakat
yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat dan lain sebagainya.
(b.) Wajib ghairu muhaddad yaitu, kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya
membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong dan lain
sebagainya.[3]
b.
Haram
Haram
adalah segala perbuatan yang dilarang menggerjakannya. Orang yang melakukannya
akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya
mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan lain
sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
Para
Ulama’ Ushul Fiqih, haram dibagi menjadi beberapa macam menurut Abdul Karim
Zaidan, yaitu :
1. al-Muharram li Dzatih (Haram karena perbuatan itu sendiri), yaitu sesuatu yang diharamkan oleh
syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan
kemudaratan itu tidak bisa dipisah dari zatnya. Misalnya larangan berzina,
larangan menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung dan saudara kandung,
mencuri, memakan bangkai dan membunuh jiwa manusia.
2. al-Muharram li Ghairihi (Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain
atau haram karena faktor lain yang kemudian datang), yaitu sesuatu yang dilarang bukan
karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudratan, namun
dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena daa pertimbangan eksternal
yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya
larangan jual beli pada aktu azan sholat jumat berkumandang. Begitu juga dengan berpuasa itu akan
meimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan yang
lainnya.[4]
c.
Mandub
Mandub
adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, mandub ini
disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada :
1. Sunat ‘ain
yaitu segala perbuatann yangdianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk
dikerjakan. Misalnya sholat sunat rowatib.
2. Sunat kifayah yaitu
segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja
dari suatu kelompok. Misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin. Dan
lain-lain.
Selain itu, sunat juga
dibagi kepada :
1. Sunat muakkad,
yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak
dikerjakan Rasul dari pada tidak dikerjakannya. Misalnya sholat sunat hari
raya.
2. Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak sealu dikejakan Rasul.
Misalnya besedekah pada fakir miskin.[5]
d.
Makruh
Yang
dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya
mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab).
Misalnya merokok, memakan makanan yang meimbulkan bau yang tidak sedap, dan
lain sebagainya.
Pada umumnya, Ulama’
membagi makruh kepada dua bagian :
1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan
yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya, seperti contoh-contoh
diatas tersebut.
2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan
yang dilarangm tetapi dalil yang melarangnya itu zanny bukan qath’i. Misalnya bermain
catur, memakan daging ular (menurut mahzab hanafiyah dan Malikiyah).[6]
e.
Mubah
Yang
dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang tidak diberi pahala karena
perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini
dinamakan jugs halal atau jaiz.[7]
Istilah
mubah, menurut Abu Zahrah sama
pengertiannya dengan halal atau jaiz. Mubah terbagi menjadi tiga macam,
menurut Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, yaitu :
(1) Mubah yang berfungsi untuk
mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan
dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan
seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya seperti sholat dan berusaha mencari rizki.
(2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya
bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap
waktunya. Misalnya bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila
dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk
bermain dan mendengarkan nyanyian.
(3) Sesuatu yang mubah yang
berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misanya membeli perabot rumah
untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah dan mencapai
kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus
bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak
dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.[8]
2.
Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan
hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga
sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh
karenannya, Ulama’ membagi hukum wadh’i kepada : sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian
ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.[9]
a.
Sebab
Yang dimaksud sebab
adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syara’ sebagai alasan bagi ada dan
tidak adanya hukum. Adanya sesuuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya
sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
1. Sebab yang diluar kemampuan mukalaf.
Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan
tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajib sholat.
2. Sebab yang berada dalam kesanggupan
mukalaf, sebab ini dibagi dua:
(a) Yang termasuk dalam hukum taklifi,
seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS
Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab
boleh tidaknya untuk berpuasa di Bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah (2) : 185).
(b) Yang termasuk dalam hukum wadh’i
seperti perkawinan menjadi sebab hak warisan antara suami isteri dan menjadi
sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya.[10]
b.
Syarat
Yang
dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum
dengan adanya sesuatu tersebut dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak
ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.
Misalnya wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah
berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi,
zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, atau tahun itu
saja belumlah tentu wajib zakat, karena syarat tergantung kepada sampai atau
tidaknya dagangan tersebut senisab.[11]
c.
Mani’
Yang dimaksud dengan
mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau
dapat membatalkan sebab hukum. Dan definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’
itu terbagi kepada dua macam :
1. Mani’ terhadap hukum
Misalnya perbedaan agama
antara perawis dengan yang diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukm pusaka
mempusakai sekalipun sebab saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan.
Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian rang yang sedang
sholat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah stu syarat sah sholat, yaitu suci
dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut
mani’ hukum.
2. Mani’ terhadap sebab hukum
Misalnya seseorang yang
memiliki harta senasib wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai
hutang yang jumlahnya sampai megurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar
zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memilki harta senisab
itu adalah menjadi sebab wajibnya penghalang sebab adanya hukum wajib zakat.
Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat.
Hal ini disebut mani’ sebab.
d.
Shahih (Sah)
Yaitu
suatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’, yaitu terpenuhinya sebab,
syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan sholat zuhur setelah
tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) serta tidak ada
penghalang (tidak ada haid, nifas, dan sebagainya), maka pekerjaan yang
dilaksanakan itu hukumnya sah. Sebaliknya jika tidak syaratnya tidak terpenuhi,
sekalipun mani’nya tidak ada, maka sholat itu tidak sah.
e.
Bathal (Batal)
Yaitu
terlepasnya bukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjual-belikan minuman keras. Akad ini
dipandang bathal, kerena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan
syara’.
f.
‘Azimah
Yaitu
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Swt kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.
Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak
disyari’atkannya seluruh mukalaf wajib
mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat sholat zuhur adalah empat rakaat. Jumlah
rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang
menetapkan jumlah rakaat sholat zuhur. Hukum tentang rakaat sholat zuhur adalah
empat rakaat disebut ‘azimah.
g.
Rukhshah
Adalah
hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena uzhur. Misalnya,
kebolehan mengerjakan shlat zuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum itu disebut
rukhshah.[12]
C.
Perbedaan Antara Hukum Taklifi dengan
Hukum Wadhi’
Ada beberapa perbedaan
antara hukum taklifi dan hukum wadh’i antara lain :
a. Dalam hukum al-taklifi terkandung
tuntunan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat.
Dalam hukum wadh’i, hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara
dua persoalan, sehingga salah satu diantara dapat dijadikan sebab, syarat atau
penghalang.
b. Hukum al-taklifi merupakan tuntutan
langsung pada mukalaf untuk dilaksanakan , ditinggalkan atau memilih untuk
berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar
langsung dilakukan mukalaf. Hukum al-wadh’i ditentukan agar hukum al-taklifi
dpat dilaksanakan.
c. Hukum al-taklifi harus sesuai dengan
kemampuan mukalaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum
al-taklifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqah) dan kesempitan (haraj) tang
tidak mungkin dipikul oleh mukalaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i hal seperti
ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i
adakalanya dapat dipikul mukalaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat
dalam pernukahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf seperti
tergelincirnya matahari bagi wajibnya sholat zuhur.
d. Hukum al-taklifi ditujukan kepada
para mukalaf, sedangkan al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik
telah mualaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.[13]
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan
tentang pengertian hukum syara dan hukum taklifi diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa :
Puncak atau inti dari
ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’.
ü Hukum syara adalah : “Kalam Allah yang
berkaitan dengan mukallaf, baik itu iqtidha (tuntutan), takhyir (pilihan), dan
wadh’i (ketentuan yang ditetapkan). Yang dimaksud dengan kalam Allah ialah
dalil hukum yang besumber dari Al-qur’an, sunnah, ijma serta qiyas. Sedangkan
pebuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh),
berakal sehat, termasuk perbuatan hati serta ucapan. Dan yang dimaksud dengan
iqtidha ialah tuntutan atau perintah untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan. Takhyir ialah memilih untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan, dan wadh’i ialah perbuatan yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan
halangan.
ü Hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu: hukum
taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi ialah hukum yang mengandung perintah,
larangan serta pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Sedangkan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
sebab, syarat, dan halangan.
ü Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau
sering disebut dengan “ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib),
an-nadb (mandub), al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah).
ü Wajib Secara etimologi berarti tetap atau
pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk
dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika
tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
ü Mandub secara bahasa berarti sesuatu yang
dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak
dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah,
nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
ü Haram secara bahasa berarti sesuatu yang
dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan
Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala.
ü Makruh secara bahasa berarti sesuatu yang
dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya,
dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar
tidak berdosa. Namun sebagian ulama berpendapat jika perbuatan makruh ini
dikerjakan maka akan dibenci oleh Allah swt.
ü Mubah secara bahasa berarti sesuatu yang
dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh
syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya
dengan dosa serta pahala. Namun perbuatan mubah ini akan berubah menjadi hukum
yang empat –diatas- jika diiringi dengan
niat.
DAFTAR PUSTAKA
H.Alaiddin Koto, 2004, hal 42-44
Satria Efendi, Ushul Fiqih, 2005 hal
48-49
H. Alaiddin Koto, 2004 hal.44-46
Satria Effendi, Ushul Fiqih, 2005 hal 55-57
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 47
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 46-47
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 48
Satria Effendi, Ushul Fiqih, 2005
hal. 61
H Alaiddin Koto, 2004 hal 49
H Alaiddin Koto, 2004 hal 49-50
H Alaiddin Koto, 2004 hal 50
H Alaiddin Koto, 2004 hal 52-53
H Alaiddin Koto, 2004 hal 58-59
Suhartini Adhewi, Ushul Fiqih, 2009
hal.39-47
Suhartini Andewi, Ushul Fiqih 2009
hal 45-46
Ushul Fiqh, Dr. H. Abd. Rahman
Dahlan, M.A. Penerbit AMZAH
Rachmat Syafe’i, 1993:316 &
Chaerul Uman, 1998:250-251
[1] H.Alaiddin
Koto, 2004, hal 42-44
[2] Satria
Efendi, 2005 hal 48-49
[3] H.
Alaiddin Koto, 2004 hal.44-46
[4] Satria
Effendi, 2005 hal 55-57
[5] H
Alaiddin Koto, 2004 hal. 47
[6] H
Alaiddin Koto, 2004 hal. 46-47
[7] H
Alaiddin Koto, 2004 hal. 48
[8] Satria
Effendi, 2005 hal. 61
[9] H
Alaiddin Koto, 2004 hal 49
[10] H
Alaiddin Koto, 2004 hal 49-50
[11] H
Alaiddin Koto, 2004 hal 50
[12]
Suhartini Andewi, Ushul Fiqih 2009 hal 45-46
[13] Rachmat
Syafe’i, 1993:316 & Chaerul Uman, 1998:250-251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar