Rabu, 04 Januari 2017



PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

Abstrak
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf,  yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivititas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. hukum syara’ ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh, dan haram. Semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. Kenapa harus terikat? keterikatan kita kepada hukum syara’ lah yang menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
Oleh karena itu pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan hukum wadh’i.

A.     Pengertian Hukum Syara’

Syara’ atau syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai rasulnya yang wajib diikuti oleh setiap orang islam berdasarkan keyakinan yang berisikan ahlak baik dalam hubungannya dengan Allah maupun manusia atau lingkungannya.
Hukum syara’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah :khithab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan. Misalnya dalam firman Allah swt  dalam surat al-Baqarah ayat 229, artinya :
“ jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hokum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya “
Hukum syara’ juga dapat diartikan seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.

B.      Pembagian Hukum Syara’

Pada umumnya ulama ushul Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

1.      Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah syara’ yang mengandung tuntunan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian, yaitu : Ijab, Nadb, Tahrim, Karahah, dan Ibahah.
a.      Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melakukan sholat. Yang terdapat pada QS Al-Baqarah (2):43
b.      Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Yang terdapat pada QS Al-Baqarah (2):282
c.       Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntunan yang pasti. Misalnya, diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi. Yang terdapat pada QS Al Maidah ayat 3
d.      Karahah yaitu, ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntunan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101.
e.      Ibahah yaitu, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya, Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235.

Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu dengan membagi firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan pasti kepada dua bagian : tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i seperti dalil Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanny ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan berdasarkan zhanny, ia disebut karahah tanzih.
Dengan pembagian seperti diatas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb dan ibadah.
Walaupun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut diatas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh Ahli Fiqih, yaitu wajib, haram, madhub, makruh dan mubah.[1] Masing-masing dari beberapa istilah hukum diatas akan dijelaskan secara ringkas dibawah ini :
a.      Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan atau meninggalkannya akan diancam dengan dosa atau diberi siksa (‘iqab).
Misalnya, mengerjakan beberapa rukun Islam yang lima.
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1.      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tentunya perbuatan yang dituntut, wajib dibagi menjadi dua:
a.      Wajib mu’ayyan (ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya. Misalnya membaca fatihah atau tahiyyat dalam sholat.
b.      Wajib mukhayyar (dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
2.      Dilihat dari segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:
(a.) Wajib ‘aini yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya mengerjakan sholat lima waktu, puasa Ramadhan. Wajib ini disebut juga dengan fardhu ‘ain.
(b.) Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang diharuskan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tembat peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan sholat jenazah, dan lain sebagainya.
3.      Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya. Hukum wajib terbagi kepada dua macam :
(a.)  Wajib mutlaq, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar puasa Ramadhan yang tertinggal, kewajiban membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan wktu tertentu.
(b.)   Wajib Muaqqad, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (Lapang waktunya) dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya).
-          Wajib muwassa’ adalah kewajiban dimana waktu yang tersedia lebih lapang daripada waku pelaksanaan kewajiban itu sendiri sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada waktu itu, sepertisholat lima waktu.
-          Wajib mudhayyaq adalah kewajiban dimana waktu yang tersedia hanya (mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu). Misalnya puasa di bulan Ramadhan.[2]
4.      Dilihat dari segi kadar (kualitas)nya, wajib terbagi kepada dua :
(a.) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat dan lain sebagainya.
(b.) Wajib ghairu muhaddad yaitu, kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong dan lain sebagainya.[3]

b.      Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang menggerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.
Para Ulama’ Ushul Fiqih, haram dibagi menjadi beberapa macam menurut Abdul Karim Zaidan, yaitu :
1.      al-Muharram li Dzatih (Haram karena perbuatan itu sendiri), yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu tidak bisa dipisah dari zatnya. Misalnya larangan berzina, larangan menikahi wanita-wanita mahram seperti ibu kandung dan saudara kandung, mencuri, memakan bangkai dan membunuh jiwa manusia.
2.      al-Muharram li Ghairihi (Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain atau haram karena faktor lain yang kemudian datang), yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena daa pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya larangan jual beli pada aktu azan sholat jumat berkumandang. Begitu juga dengan berpuasa itu akan meimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan yang lainnya.[4]

c.       Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada :
1.      Sunat ‘ain yaitu segala perbuatann yangdianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan. Misalnya sholat sunat rowatib.
2.      Sunat kifayah yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok. Misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin. Dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada :
1.      Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul dari pada tidak dikerjakannya. Misalnya sholat sunat hari raya.
2.      Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak sealu dikejakan Rasul. Misalnya besedekah pada fakir miskin.[5]

d.      Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang meimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.
Pada umumnya, Ulama’ membagi makruh  kepada dua bagian :
1.      Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya, seperti contoh-contoh diatas tersebut.
2.      Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarangm tetapi dalil yang melarangnya itu zanny bukan qath’i. Misalnya bermain catur, memakan daging ular (menurut mahzab hanafiyah dan Malikiyah).[6]

e.      Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang tidak diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini dinamakan jugs halal atau jaiz.[7]
Istilah mubah, menurut Abu Zahrah sama pengertiannya dengan halal atau jaiz. Mubah terbagi menjadi tiga macam, menurut Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, yaitu :
(1)   Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan berusaha mencari rizki.
(2)   Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktunya. Misalnya bermain dan mendengar nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengarkan nyanyian.
(3)   Sesuatu yang mubah yang berfungsi  sebagai  sarana untuk mencapai sesuatu yang  mubah pula. Misanya membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah dan mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.[8]


2.      Hukum Wadh’i

Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenannya, Ulama’ membagi hukum wadh’i kepada : sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.[9]

a.      Sebab
Yang dimaksud sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syara’ sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
1.      Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajib sholat.
2.      Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf, sebab ini dibagi dua:
(a)   Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab boleh tidaknya untuk berpuasa di Bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah (2) : 185).
(b)   Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebab hak warisan antara suami isteri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya.[10]
b.      Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat berjalan, atau tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena syarat tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.[11]

c.       Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dan definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam :
1.   Mani’ terhadap hukum
Misalnya perbedaan agama antara perawis dengan yang diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukm pusaka mempusakai sekalipun sebab saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian rang yang sedang sholat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah stu syarat sah sholat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya sholat. Hal ini disebut mani’ hukum.
2.   Mani’ terhadap sebab hukum
Misalnya seseorang yang memiliki harta senasib wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai megurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memilki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya penghalang sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.

d.       Shahih (Sah)
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya, mengerjakan sholat zuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) serta tidak ada penghalang (tidak ada haid, nifas, dan sebagainya), maka pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Sebaliknya jika tidak syaratnya tidak terpenuhi, sekalipun mani’nya tidak ada, maka sholat itu tidak sah.
e.      Bathal (Batal)
Yaitu terlepasnya bukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya memperjual-belikan minuman keras. Akad ini dipandang bathal, kerena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
f.        ‘Azimah
Yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Swt kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya  seluruh mukalaf wajib mengikutinya. Misalnya, jumlah rakaat sholat zuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat sholat zuhur. Hukum tentang rakaat sholat zuhur adalah empat rakaat disebut ‘azimah.
g.      Rukhshah
Adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena uzhur. Misalnya, kebolehan mengerjakan shlat zuhur dua rakaat bagi para musafir, maka hukum itu disebut rukhshah.[12]

C.      Perbedaan Antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadhi’
Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i antara lain :
a.      Dalam hukum al-taklifi terkandung tuntunan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadh’i, hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara dapat dijadikan sebab, syarat atau penghalang.
b.      Hukum al-taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukalaf untuk dilaksanakan , ditinggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukalaf. Hukum al-wadh’i ditentukan agar hukum al-taklifi dpat dilaksanakan.
c.       Hukum al-taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukalaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum al-taklifi tidak boleh ada kesulitan (masyaqah) dan kesempitan (haraj) tang tidak mungkin dipikul oleh mukalaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul mukalaf, seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernukahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya sholat zuhur.
d.      Hukum al-taklifi ditujukan kepada para mukalaf, sedangkan al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mualaf, maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.[13]

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hukum syara dan hukum taklifi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa :

Puncak atau inti dari ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’.
ü  Hukum syara adalah : “Kalam Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik itu iqtidha (tuntutan), takhyir (pilihan), dan wadh’i (ketentuan yang ditetapkan). Yang dimaksud dengan kalam Allah ialah dalil hukum yang besumber dari Al-qur’an, sunnah, ijma serta qiyas. Sedangkan pebuatan mukallaf ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa (baligh), berakal sehat, termasuk perbuatan hati serta ucapan. Dan yang dimaksud dengan iqtidha ialah tuntutan atau perintah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Takhyir ialah memilih untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, dan wadh’i ialah perbuatan yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan halangan.
ü  Hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi ialah hukum yang mengandung perintah, larangan serta pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan halangan.
ü  Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau sering disebut dengan “ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib), an-nadb (mandub), al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah).
ü  Wajib Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
ü  Mandub secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
ü  Haram secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala.
ü  Makruh secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Namun sebagian ulama berpendapat jika perbuatan makruh ini dikerjakan maka akan dibenci oleh Allah swt.
ü  Mubah secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Namun perbuatan mubah ini akan berubah menjadi hukum yang empat –diatas-  jika diiringi dengan niat.














DAFTAR PUSTAKA

H.Alaiddin Koto, 2004, hal 42-44
Satria Efendi, Ushul Fiqih, 2005 hal 48-49
H. Alaiddin Koto, 2004 hal.44-46
Satria Effendi,  Ushul Fiqih, 2005 hal 55-57
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 47
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 46-47
H Alaiddin Koto, 2004 hal. 48
Satria Effendi, Ushul Fiqih, 2005 hal. 61
H Alaiddin Koto, 2004 hal 49
H Alaiddin Koto, 2004 hal 49-50
H Alaiddin Koto, 2004 hal 50
H Alaiddin Koto, 2004 hal 52-53
H Alaiddin Koto, 2004 hal 58-59
Suhartini Adhewi, Ushul Fiqih, 2009 hal.39-47
Suhartini Andewi, Ushul Fiqih 2009 hal 45-46
Ushul Fiqh, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Penerbit AMZAH
Rachmat Syafe’i, 1993:316 & Chaerul Uman, 1998:250-251


[1] H.Alaiddin Koto, 2004, hal 42-44
[2] Satria Efendi, 2005 hal 48-49
[3] H. Alaiddin Koto, 2004 hal.44-46
[4] Satria Effendi, 2005 hal 55-57
[5] H Alaiddin Koto, 2004 hal. 47
[6] H Alaiddin Koto, 2004 hal. 46-47
[7] H Alaiddin Koto, 2004 hal. 48
[8] Satria Effendi, 2005 hal. 61
[9] H Alaiddin Koto, 2004 hal 49
[10] H Alaiddin Koto, 2004 hal 49-50
[11] H Alaiddin Koto, 2004 hal 50
[12] Suhartini Andewi, Ushul Fiqih 2009 hal 45-46
[13] Rachmat Syafe’i, 1993:316 & Chaerul Uman, 1998:250-251